Syekh Ibnu Atha'illah hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mamluk.
Beliau lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), Mesir, lalu pindah ke Kairo. Di
kota inilah beliau menghabiskan hidupnya dengan mengajar Fikih Mazhab Imam
Maliki di berbagai lembaga intelektual.
Ibn Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya
yang pernah dihasilkannya. Karya itu meliputi bidang tasawuf, tafsir, akidah,
hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal
adalah Kitab Al-Hikam yang disebut-sebut sebagai magnum opus beliau.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya
dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj,
Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya,
kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang
mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah
dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara
metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda
dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada
ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah:
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah:
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi
dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan
yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada
Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur". Dan "berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman". Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya, kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur". Dan "berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman". Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya, kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa
ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua
jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia
memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib,
yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui
ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Al-Hikam adalah sebuah kitab yang diperuntukkan bagi para pejalan (salik),
yang di dalamnya berisi panduan lanjut bagi setiap pejalan untuk menempuh
perjalanan spiritual. Al-Hikam berisi berbagai terminologi suluk yang ketat,
yang merujuk pada berbagai istilah dalam Al-Qur'an.
TAGS.
- Sejarah Al-Hikam
- Syech Ibnu Atha'illah
- Syarah Al-Hikam
- Kitab Al-Hikam
- Kajian Sufi
- Syekh Abu Abbas Al-Mursi
- Thariqah Syadziliyah
- Syekh Abu Hasan Ali Asy-Syadzili
- Para Pejalan (salik)
- Penempuh Jalan ALLAH
- Rampai Hikmah